Stasiun Bojonegoro
Sejarah pembangunan Stasiun Bojonegoro diawali ketika Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) sebagai perusahaan swasta mendapat tugas dari pemerintah Hindia Belanda membangun jalan rel dari Gundih ke Surabaya untuk angkutan hasil bumi dan bahan pakaian serta barang impor untuk daerah pedalaman yang masuk melalui pelabuhan Surabaya. Sebab, pada zaman itu transportasi masih menggunakan perahu dari Surabaya melalui Bengawan Solo. Yakni, di Padangan Bojonegoro. Di Padangan, menjadi pusat perdagangan di tepi Bengawan Solo yang berbatasan dengan Cepu.
Awalnya NISM tidak berminat membangun jalan rel lintas Gundih – Surabaya. Kemudian NISM menyatakan kesanggupan untuk melaksanakannya karena sudah menjadi besar berkat angkutan gula, tembakau, kayu, dan lain-lain yang sangat berlimpah dari wilayah Surakarta, Yogyakarta, dan Kedu ke pelabuhan Semarang. Selain itu, ditemukan sumber minyak bumi di Cepu diharapkan menguntungkan bagi operasional kereta api Gundih - Surabaya Pasar Turi.
Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) mengajukan konsesi untuk pembangunan jalur baru setelah meraih keuntungan pada tahun 1890-an. Akhirnya, perusahaan ini mendapat konsesi pembangunan jalur kereta api baru yang melayani rute Gundih – Gambringan – Bojonegoro – Surabaya pada tanggal 1 September 1897. Stasiun ini mulai beroperasi pada tanggal 1 Maret 1902, sebagai bagian dari pengoperasian jalur kereta api ruas Bojonegoro – Babat. Pada tanggal 1 Februari 1903, proyek jalur kereta api Gundih – Gambringan – Bojonegoro – Surabaya NIS telah selesai.
Ke arah timur dari jalur 2 dahulu terdapat jalur rel menuju Rembang yang sudah tidak dioperasikan sejak tahun 2001. Jalur tersebut dipakai untuk mengangkut pasir kuarsa dari Stasiun Jatirogo sebelum berhenti beroperasi. Jalur ini merupakan gabungan dari dua operator, yaitu Samarang–Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) dan NIS. Saat itu, jalur milik SJS meliputi Rembang–Jatirogo, sedangkan Jatirogo–Bojonegoro merupakan jalur milik NIS.