Setelah dua kali lebaran sebelumnya aktivitas mudik dilarang untuk menekan penyebaran virus Covid-19, akhirnya mulai musim mudik tahun 2022 ini pemerintah mengizinkan masyarakat untuk kembali mudik ke kampung masing-masing. Diizinkannya kembali kebiasaan mudik setiap lebaran karena pemerintah melihat situasi perkembangan pandemi di Tanah Air yang kian membaik dan hasil survei antibodi masyarakat yang meningkat.

"Bagi masyarakat yang ingin melakukan mudik Lebaran juga dipersilakan, juga diperbolehkan, dengan syarat sudah mendapatkan dua kali vaksin dan satu kali booster, serta tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat," kata Presiden RI Joko Widodo dalam konferensi pers daring, pada Rabu (23/3/2022) lalu.

Sementara itu mengantisipasi prediksi jumlah penumpang yang naik signifikan, pihak operator PT. Kereta Api Indonesia (Persero) saat ini sudah menyiapkan total 401 perjalanan kereta api jarak jauh, baik rangkaian utama maupun cadangan, untuk masa angkutan Lebaran 2022 yang berlangsung selama 22 hari sejak 22 April sampai 13 Mei 2022. "Untuk saat ini, perjalanan KA jarak jauhnya kami siapkan sementara ini 366 KA jarak jauh, sementara itu ada 35 tambahan KA," kata  Direktur Operasi Awan Hermawan, kepada wartawan pada Senin (18/4/2022) lalu.

Dalam hal menyiapkan arus mudik kereta api berjalan lancar, tentu tidak hanya sarana saja yang disiapkan. Infrastruktur pun turut berperan penting. Sejumlah tim personil tambahan bersiaga siang-malam di berbagai perlintasan potensi kecelakaan, titik rawan bencana untuk memantau dan mencegah kejadian buruk. Lintas Cikampek–Cirebon merupakan salah satu jalur penting dan tersibuk kedua di Jawa setelah lintas Jakarta–Cikampek. Di sepanjang jalur inilah sebagian besar rute kereta api melaju cepat dari Ibukota menuju Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Solo, Madiun, dan Surabaya.

Dalam sejarahnya, jalur kereta api ini baru dibuka sejak 1912. Padahal lintas selatan di Bogor–Sukabumi–Bandung–Kroya yang lebih banyak melewati pegunungan, kontur berbukit dengan lembah-lembah cukup lebar dan dalam justru dibangun lebih dulu sejak 1883-1894. Ini karena pada Abad Ke-19 sepanjang dataran rendah di pesisir utara Jawa Barat berpenduduk masih sedikit. Kecuali Batavia dan Cirebon, saat itu hanya pelabuhan Cilamaya, Indramayu dan Karangampel yang relatif ramai. Selebihnya masih berupa hutan bakau dengan rawa-rawa luas sulit ditembus yang tersebar dari Cirebon sampai Karawang. Pusat peradaban dan aktivitas ekonomi di Jawa Barat pada zaman kolonial Belanda justru lebih banyak terdapat di dataran tinggi Priangan seperti Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang yang pada saat itu sudah dilintasi Jalan Raya Daendels sejak 1811.

Pada 1894, hubungan kereta api antara Batavia–Surabaya berhasil tersambung. Ketika itu rutenya masih melewati Depok–Bogor–Bandung–Tasikmalaya–Kroya–Yogyakarta–Solo–Kertosono–Sidoarjo. Dengan demikian perjalanan darat berbulan-bulan antar dua kota besar tersebut dapat disingkat hanya menjadi tiga hari.

Peta Jalur KA Cikampek–Cirebon 1935 rev

Peta Jalur KA Cikampek–Cirebon 1935

Pertumbuhan penumpang yang pesat pada awal abad ke-20 menuntut peningkatan pelayanan kereta api. Sejumlah lokomotif uap generasi terbaru dengan kecepatan lebih tinggi (60 sampai 80 km per jam) diimpor untuk memangkas waktu tempuh. Meski demikian hal itu dianggap belum cukup. Adanya kebutuhan memperpendek jarak antara Batavia-Surabaya membuat para direksi Staatsspoorwegen di Bandung harus berpikir keras.

Salah satu opsi yang diambil adalah membuat jalan pintas baru (short cut) dari Stasiun Kedunggedeh langsung menghubungkan kota Cirebon (Kejaksan), kemudian berbelok kanan ke arah Prupuk, Purwokerto dan bersambung di Stasiun Kroya. Sebenarnya rute Kedunggedeh-Cirebon sudah dipikirkan sejak 1889 dan diajukan kepada pemerintah oleh perusahaan kereta api swasta Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOSM) pada 1893. Karena BOSM keburu bangkrut, rencana itu tidak sempat terlaksana. Bahkan perusahaan dan seluruh asetnya dari Batavia-Pasar Senen-Meester Cornelis BOS-Bekasi-Kedunggede dibeli oleh pemerintah sejak 1898.

Setelah mendahulukan pembangunan jalur kereta api Batavia-Bandung melalui Karawang–Cikampek–Purwakarta–Padalarang yang selesai pada 1906, Staatsspoorwegen akhirnya merealisasikan rencana hubungan jalan pintas Cikampek–Cirebon. Pembangunannya dimulai dari Cikampek sejak 1909. Pada 1912 jalan rel yang didominasi jalur lurus itu selesai dan diresmikan. Setelah Cikampek–Cirebon tersambung, pembangunan terus dilanjutkan menuju Purwokerto dan Kroya yang selesai seluruhnya pada 1917. Adanya rute baru Batavia–Surabaya melalui “shortcut” Cirebon–Kroya dan seterusnya berhasil menghemat waktu menjadi dua hari.

Perkembangan teknologi lokomotif uap yang mampu meluncur hingga 100 kilometer per jam memungkinkan waktu tempuh Batavia-Surabaya semakin singkat. Pada 1 November 1929, Staatsspoor en Tramwegen (SS) meluncurkan rangkaian Kereta Api Cepat Sehari (Eendagsche Express). Dengan KA cepat tersebut, Batavia–Cirebon–Kroya–Yogyakarta–Solo–Kertosono–Surabaya dapat ditempuh hanya dalam waktu 13 jam. Hal tersebut tentu dapat terselenggara dengan beroperasinya jalur Cikampek–Jatibarang–Cirebon. Di jalur sepanjang 137 kilometer inilah masinis dapat memacu lokomotif uap dengan kecepatan maksimum untuk menggantikan waktu yang terbuang pada saat kereta api melalui jalur menanjak Prupuk–Purwokerto.

Pada masa Revolusi Kemerdekaan RI, jalur Cikampek–Jatibarang–Cirebon yang saat itu dikelola oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) menjadi jalan utama untuk perjalanan rahasia Kereta Api Luar Biasa (KLB) Presiden dan Wakil Presiden RI untuk hijrah menuju Yogyakarta pada 3-4 Januari 1946. Sementara itu kereta api Batavia–Surabaya yang pernah berjaya pada era Hindia Belanda kini digantikan oleh kereta api ekspres seperti KA Bima (Gambir–Gubeng) menempuh waktu kira-kira 11 jam 33 menit dan KA Argo Bromo Anggrek (Gambir–Pasar Turi) menempuh waktu kira-kira 8 jam 10 menit.*

prasasti uji coba jalur cikampek rev

Prasasti Uji Coba Jalur Ganda Cikampek–Cirebon pada 10 November 2000 yang terdapat di dinding peron 1 Stasiun Cirebon Kejasan.

Sumber:

Bosma, Ulbe, dkk. Sugarlandia Revisited: Sugar and Colonialism in Asia and the Americas, 1800-1940. US: Berghahn Books, 2007, 2010

Gani, Mohammad. Kereta Api Indonesia. Jakarta: Deppen RI, 1978

Jong, Michiel van Ballegoijen de. Spoorwegstations op Java. De Bataafsche Leeuw, 1993

www.media.kitlv.nl

Tim Telaga Bakti Nusantara. Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I, Bandung: Asosiasi Perkeretaapian Indonesia, 1997

Wahyudi, Drs. Sarjana Sigit. DAMPAK AGRO INDUSTRI DI DAERAH PERSAWAHAN DI JAWA. Semarang: Penerbit Mimbar, 2000