SAWAHLUNTO DAN KERETA API
Pada Kamis 23 Juni 2022 lalu para direksi PT. Bio Farma (Persero), PT. Pupuk Indonesia (Persero), PT. Semen Indonesia (Persero), dan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) tengah berkumpul di Hotel Borobudur Jakarta. Ada kerja sama yang ditandatangani empat badan usaha milik negara (BUMN) itu terkait rehabilitasi 4 kilometer jalur kereta api Sawahlunto–Muaro Kalaban oleh PT. KAI. Dalam artikel berita (24/06/2022) yang dimuat cnnindonesia.com berjudul “Jalur Kereta Sawahlunto-Muoro Kalaban Kembali Beroperasi Tahun Depan” mengungkapkan bahwa tiga BUMN yaitu Bio Farma, Pupuk Indonesia, dan Semen Indonesia sepakat mengucurkan dana senilai 19 milyar rupiah kepada PT. KAI untuk menghidupkan kembali jalur kereta api non aktif Sawahlunto–Muaro Kalaban. Uang hasil patungan dari tiga BUMN tersebut nantinya akan dipakai untuk perbaikan infrastruktur seperti perbaikan rel, jembatan, terowongan, stasiun dan sarana pendukungnya yaitu lokomotif uap legendaris “Mak Itam.”
Sebagai imbal balik kerja sama ini, PT. KAI akan membantu memasarkan produk-produk dari tiga BUMN tersebut baik melalui branding stasiun, kereta api atau media lainnya di lingkungan PT. KAI. “Pengoperasian jalur kereta ini bertujuan memulihkan perekonomian Sumatera Barat melalui sektor pariwisata, di mana ini peran BUMN bukan hanya keuntungan tapi manfaat besar ke masyarakat. Ini dipikul dana dari tiga BUMN dikemas dalam bentuk sponsorship," ujar Direktur Utama PT. KAI Didiek Hartantyo dalam keterangan persnya pada 23 Juni 2022 di Jakarta.
Adapun Sawahlunto sendiri dalam laman daring Perserikatan Bangsa Bangsa UNESCO di https://whc.unesco.org/en/list/1610/, sudah ditetapkan sebagai situs warisan dunia sejak 2019. Menurut sejarahnya, pada abad ke-13 Sawahlunto merupakan bagian dari teritorial Kerajaan Pagaruyung. Ketika orang-orang Eropa mulai datang ke Nusantara, Pagaruyung lebih banyak menjalin hubungan dagang dengan VOC dibanding dengan Kesultanan Aceh yang menjadi pesaing utama mereka. Pada 1799 VOC dinyatakan bangkrut oleh pemerintah Belanda dan seluruh asetnya di kepulauan Nusantara diambil alih menjadi wilayah koloni Kerajaan Belanda mulai 1 Januari 1800.
Pemerintah Hindia Belanda sebagai pewaris aset-aset grup perusahaan dagang di Nusantara itu mulai tertarik menguasai negeri Minangkabau itu sejak 1816. Pada saat yang sama rezim kekuasaan di Sumatera Barat telah berganti dan dipengaruhi oleh kaum Padri dengan para ulama sebagai pemimpin utamanya. Gerakan masyarakat pendukung syariat Islam tersebut muncul untuk memberantas berbagai kebiasaan warga yang ketika itu sudah sangat merusak kehidupan beragama. Semangat memberantas “penyakit masyarakat” sejak awal abad ke-19 juga ditujukan untuk melawan pengaruh Belanda yang terus menguat selama dua ratus tahun sebelumnya.
Akhirnya melalui perundingan untuk mengakhiri perang kaum Padri versus Belanda pada 30 Oktober 1832, Belanda resmi mengambilalih kedaulatan atas seluruh Sumatera Barat dari tangan kaum Padri, dengan syarat pemerintah kolonial wajib menjaga hukum agama seperti memberlakukan larangan perjudian, adu ayam, dan pemadatan kepada seluruh rakyat Minang.
Sebelum ditemukan batubara, Sawahlunto hanya sebuah wilayah terpencil di dataran tinggi Sumatera Barat. Kebutuhan batu bara yang tinggi di Hindia Belanda saat itu hanya dipenuhi lewat impor dari Inggris yang menyebabkan harganya menjadi sangat mahal. Berdasarkan pertimbangan tersebut pemerintah Hindia Belanda mulai meneliti pulau-pulau besar di Nusantara untuk mencari sumber mineral yang diperlukan. Koninklijke Natuurkundige Vereeniging, semacam LIPI (Lembaga Imu Pengetahuan Indonesia) zaman Hindia Belanda melaporkan hasil temuan riset mereka bahwa terdapat kandungan batu bara di bawah perbukitan daerah Martapura, Kalimantan. Berdasarkan kajian tersebut pemerintah Hindia Belanda mulai membangun pusat tambang batu bara pertama yang diresmikan pada 25 September 1849 oleh Gubernur Jenderal Rochussen. Tambang pertama di bukit Pengaron itu dinamai pemerintah dengan sebutan “Oranje Nassau.”
Walau sudah memiliki tambang batu bara sendiri, kualitas batu bara yang dihasilkan ternyata tidak sebagus impor dari Eropa. Karena tuntutan kebutuhan yang semakin tinggi, pemerintah kolonial terus berusaha mencari lokasi potensial tambang batu bara di lokasi lain. Pada 1867, seoarang insinyur yang dikirim pemerintah ke Sumatera bernama W.H. De Greeve menemukan kandungan batu bara di Sungai Ombilin. Tingkat “kematangan” batu baru dari tempat tersebut bahkan lebih baik dari batu bara impor. Setahun kemudian cadangan yang jauh lebih besar ditemukan di lembah-lembah sungai daerah Ulu Air. Untuk memetakan lokasi cadangan, pemerintah kembali mengirim peneliti lain bernama Ir. R.D.M. Verbeek. Adapun nasib tambang Oranje Nassau di Kalimantan terpaksa ditutup pada 1884. Beberapa lokasi cadangan batu bara lain seperti Pulaulaut, hak konsesi atas tambang diserahkan kepada swasta. Pemerintah saat itu fokus untuk penambangan di pulau Sumatera.
Jalur lori di kompleks tambang batu bara Sawahlunto. (Sumber: buku Stations en Spoorbruggen op Sumatra)
Dari hasil pemetaan tuan Verbeek, lapisan batu bara di bawah tanah cukup tebal dan tersebar luas di daerah Sawahlunto. Verbeek juga mengusulkan untuk membuat dulu akses transportasi batu bara berupa jalur kereta api dari pelabuhan Teluk Bayur ke lokasi cadangan sebelum membangun tambang. Jalur kereta api mutlak diperlukan karena lokasi bakal tambang jauh dari laut, terletak di pedalaman dataran tinggi dan harus melalui Bukit Barisan. Gubernur Jenderal setuju dan menugaskan J.L. Cluysnaer untuk merancang jalur kereta api batu bara di Sumatera Barat. Dalam hal pembangunan jalur kereta api, dinas Pekerjaan Umum Hindia Belanda (Burgerlijke Openbare Werken) mendapat kewenangan dari Gubernur Jenderal.
Peta jalur rel KA di Sumatera Barat tahun 1935. (Sumber: SS Jaarverslag 1936)
Akhirnya pada 1 Juli 1891, jalur kereta api pertama di Sumatera Barat mulai dari Puluair, Padang sampai Padangpanjang sejauh 71 kilometer resmi dibuka. Menyusul jalur Padangpanjang menuju Solok sejauh 53 kilometer diresmikan tepat setahun kemudian. Jalur dari Muarakalaban sampai Sawahlunto sejauh 4 km baru diresmikan pada 1 Januari 1894, setelah Solok – Muarakalaban terhubung pada 1 Oktober 1892.***
Sumber:
Kartodirdjo, Sartono. PENGANTAR SEJARAH INDONESIA BARU: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium, Jilid 1. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999
Madjalah Sri Poestaka Edisi 1926, Batavia: Balai Poestaka, 1926