Itulah sepenggal tulisan berbahasa Melayu pada buku peringatan 50 tahun Staatsspoor en Tramwegen, nama panjang resmi dari jawatan SS. Halaman akhir buku yang terbit pada 1925 itu seolah mengungkap sekilas nasib pegawai pribumi rendahan SS. Bahwa dibalik 5 dasawarsa kesuksesan perusahaan kereta api negara itu ternyata banyak pegawai pribumi yang masih mendapat gaji kecil. Walau serba susah, bekerja di SS bagi pribumi adalah sebuah kebanggaan dan pengabdian. Hal itu sudah dilakukan oleh orang-orang tua mereka sejak dinas kereta api negara ini berdiri 1875 silam. Ya, budaya “nepotisme” alias bekerja turun-temurun di SS kerap terjadi di kalangan pegawai pribumi.

Peranan pekerja pribumi dalam sistem keselamatan di SS sudah dimulai sejak Pelayan Kereta Api mulai memanasi mesin uap lokomotif, tiga jam sebelum berangkat. Selama pemanasan di pagi buta itu, Petugas Urusan Kereta datang untuk mengecek rem, membersihkan karat, meminyaki piston, roda-roda serta memastikan tidak menemukan lagi ikatan yang longgar atau tidak beres. Kelar urusan tersebut, hasilnya ditulis dalam laporan dan diteken oleh kondektur, masinis serta Pengatur Perjalanan Kereta Api. Prosedur ini wajib dilakukan. Apabila lokomotif bernasib sial seperti kehilangan tekanan uap atau justru ketel meledak di tengah jalan, maka akan ketahuan siapa-siapa saja yang bertanggung jawab.

Setelah lokomotif dilangsir ke stasiun, tanggung jawab keselamatan beralih ke masinis. Dia dibantu oleh seorang stoker atau juru api. Masinis tidak boleh lengah, tak boleh melewatkan tanda dan semboyan apa pun. Dia harus bisa terus menerus konsentrasi di sepanjang perjalanan. Tidak boleh sedikitpun terganggu pikirannya oleh hal-hal lain, sampai dia selamat membawa kereta ke stasiun tujuan.

Baik masinis dan stoker berada di bawah perintah kondektur. Pada zaman SS, orang inilah yang paling berkuasa dalam rangkaian kereta api. Dia bisa mengusir penumpang yang berulah, naik kereta api bukan pada tempatnya, terutama para penumpang gratisan. Apabila kereta api mogok di jalan, kondektur yang mengabarkan ke stasiun terdekat melalui telepon ladang yang jaringan kabelnya berada di kanan kiri jalur.

Sebenarnya tidak hanya petugas-petugas di atas kereta yang memikul tanggung jawab keselamatan. Ada banyak tangan-tangan lain yang ikut menentukan. Apabila Anda hidup pada zaman kolonial dan tengah naik KA Djocja Expres atau Eendaagsche Expres, akan ada 75 stasiun dari Weltevreden SS sampai Djocja SS (Tugu), atau 121 stasiun bila Anda sampai Surabaya SS (Gubeng).

Setiap kereta Anda berjalan langsung melewati stasiun-stasiun terpencil, setiap kali itulah Anda melihat sekilas papan-papan nama yang kadang tidak jelas tampak karena cepatnya kereta melintas. Pemandangan sekelebatan itu ada mungkin saat Anda tengah membaca surat kabar, menikmati menu rijstaffel di restauratie (Kereta Makan), atau malah sedang lelap tidur.

Meski demikian, pada tiap papan nama dan bangunan stasiun kecil yang tak berarti apa-apa buat Anda itu berdiri seseorang mengenakan topi pet merah—dengan logo roda sayap—ala Jendral de Gaulle. Walau penampilan mirip orang besar, ia hanyalah petugas rendahan di lingkungan SS. Orang ini memegang semacam bet pingpong dengan gagang lebih panjang. Orang-orang yang bagi Anda tak bernama itu yang mempersiapkan keamanan lintasan rel yang Anda lewati dari stasiun ke stasiun berikut. Deretan orang anonim yang saban kali terlihat dari jendela kereta itulah secara estafet mengamankan kereta api Anda, mulai berangkat sampai selamat di stasiun tujuan.

Sebelum kereta api Anda lewat, dia sudah sibuk menerima berita telegram dan telepon tentang kereta api Anda. Sejak saat itu dia sebagai bagian dari Pengatur Perjalanan Kereta Api itu mulai mulai menelpon stasiun berikutnya untuk meminta “kunci blok.” Maksudnya adalah sebelum sang PPKA mengangkat lengan sinyal masuk membolehkan kereta api Anda melewati stasiunnya, dia harus minta izin dulu pada stasiun berikutnya apakah rel aman dilintasi. Stasiun berikut inilah yang bisa membuka kunci sebelum “Jenderal de Gaulle” yang satu ini dapat membuka “pintu” stasiunnya.

Saat kereta api Anda lewat, dia terus berdiri mematung namun tetap waspada apabila keganjilan-keganjilan yang membahayakan rangkaian. Setelahnya buru-buru ia memutar telepon, mengirim telegram untuk stasiun berikut bahwa keselamatan Anda sejak saat itu diserahkan kepadanya.

Meski demikian, kesigapan para PPKA tersebut menjadi percuma apabila tidak didukung oleh tenaga-tenaga lain, yaitu juru periksa rel. Selama perjalanan, Anda tidak akan pernah bertemu, karena mereka justru bekerja ketika tidak ada kereta api lewat. Bagai semut yang keluar di malam hari, orang-orang ini segera keluar dan memeriksa rel dengan berjalan kaki untuk mengecek apakah ada rel retak, patah, bergeser, bantalan pecah, pondasi longsor, atau sekedar menguatkan sekrup-baut-paku yang kendor.

Modal kerjanya berupa lentera dan kunci pas sebesar lengan. Tidak peduli apakah dingin, hujan badai, banjir, ketemu orang jahat, hewan buas, atau makhluk astral, mereka harus menuntaskan pekerjaannya dengan menyusuri bentangan rel sejauh rata-rata 10 kilometer sampai fajar mulai menyingsing. Pekerjaannya baru selesai setelah juru periksa ini mendapat paraf dari PPKA dalam laporan tertulis. Apabila semuanya baik-baik saja, barulah PPKA stasiun-stasiun kecil ini berani melewatkan kereta api Anda.

Berkat kesetiaan dan pengabdian para pekerja rendahan itu, jarang kereta api-kereta api SS mengalami celaka besar akibat human error. Pada akhirnya, memang betul harapan para pimpinan SS, terlepas dari nasib para pegawai rendahannya yang selalu “Selamanya Susah” kereta api tetap harus Selamanya Selamat.*

Sumber

Hendrowijono, Moch. S., “Pada Siapakah Keselamatan Anda Bergantung?” Harian Kompas, 5 Juli 1981

Reitsma, S.A. BOEKOE PERINGETAN dari STAATSSPOOR EN TRAMWEGEN DI HINDIA BELANDA 1875-1925. Topografische Inrichting, Weltevreden 1925.

Ruang PPKA Stasiun SS rev