Di dalam suatu proyek pembangunan jalur kereta api, pasokan bahan seperti urukan tanah, pasir, batu, dan kayu jati mutlak diperlukan. Pada zaman Belanda bahan-bahan tersebut mudah diperoleh di sekitar lokasi pembangunan. Tetapi ada pula beberapa jenis material penting yang harus dikirim langsung dari Eropa.

Sejak pembangunan rel kereta api pertama Semarang-Solo-Yogyakarta, manajemen perusahaan kereta api sudah banyak mengimpor material seperti batang rel, penambat, besi lapis, perlengkapan sinyal, rangka jembatan dan stasiun, rollingstock, termasuk pasokan berkala onderdil kereta api. Semakin lama kebutuhan impor barang-barang kereta api semakin banyak dan beragam. Unit  dinas persediaan pun dibentuk sebagai tempat mengelola penyimpanan dan penyaluran perlengkapan kereta api. Seiring peningkatan kebutuhan, gudang-gudang baru yang lebih besar dibangun.

Khusus dinas persediaan di lingkungan jawatan Staatsspoor en Tramwegen op Java (SS), kebutuhan gudang persediaan dan barang dipenuhi dengan pembelian melalui dinas pusat pengadaan yaitu Indische Centrale Aanschaffingdienst (ICA). Awalnya perlengkapan kereta api yang diimpor harus melalui gerbang bea cukai. Karena statusnya barang milik negara, sejak 1920 dibentuk Biro Inklaring (kantor penyelesaian administrasi barang-barang impor) khusus kereta api.

Melalui biro yang berkantor di Tanjung Priok dan Tanjung Perak itu, impor barang dan onderdil kereta api bebas bea masuk dan langsung dikirim ke gudang persediaan di Manggarai, Bandung, dan Surabaya. Di Sumatera, barang impor untuk Atjeh Tram (AT), Staatsspoorwegen ter Sumatra’s Wetkust (SSS), dan Staatsspoorwegen op Zuid-Sumatra (ZSS) masuk melalui Biro Inklaring kereta api untuk AT di Sigli, Padang (SSS), dan Lahat (ZSS).

Sedangkan impor keperluan kereta api swasta masuk melalui jalur bea cukai umum yaitu De Dienst der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnzen (Dinas Bea Impor dan Bea Ekspor serta Cukai) di Tanjung Priok. Khusus onderdil pesanan Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) dilayani melalui bea cukai di Belawan Medan. Saat itu stok barang dalam gudang-gudang persediaan selalu cukup dan dikondisikan dalam keadaan melebihi persediaan minimal (minimum vooraad) sehingga kebutuhan kereta api selalu terjamin.

Ketika Jepang mengambilalih perkeretaapian di Indonesia, semua gudang persediaan jawatan kereta api Rikuyu Sokiyoku di Jawa dan Madura disatukan ke dalam unit baru dengan nama Shizai Ka. Jepang mengadopsi sistem dari bekas perusahaan kereta api negara Staatsspoor en Tramwegen untuk mengelola gudang persediaan kereta api.

Pada pelaksanaannya penggabungan paksa tersebut menimbulkan masalah. Perlengkapan dari gudang persediaan swasta banyak yang tidak cocok dipakai untuk operasional kereta api negara. Selain ketidakcocokan tersebut, selama pendudukan Jepang stok onderdil kereta api di semua gudang persediaan banyak dilebur untuk kepentingan perang.

Memasuki masa revolusi kemerdekaan Indonesia persediaan dalam gudang-gudang kereta api yang dikuasai Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) terus menyusut. Pasokan onderdil penting yang umumnya berasal dari luar negeri belum dapat dilakukan karena adanya blokade laut kapal-kapal perang Belanda. Akhirnya stok suku cadang lokomotif uap di semua gudang persediaan DKA benar-benar kosong pada 1950.

Gudang-gudang persediaan yang masih aktif saat itu antara lain Gudang Persediaan Besar di Manggarai, Bandung (Cikudapateuh), Madiun, dan Semarang (bekas gudang persediaan milik NIS). Selain di Jawa, gudang persediaan juga masih beroperasi awal 1950 di Sumatera adalah Gudang Persediaan Biasa Sigli, Padang, dan Lahat. Adapun gudang kereta api di Batavia dan Surabaya Gubeng merupakan Gudang Penyaluran impor barang keperluan kereta api ke Jawa dan Sumatera.

Setelah DKA berubah status menjadi PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api) 1963-1971, direksi memberikan jatah kredit Operation Expense Bugdet (OEB) kepada tiap-tiap Dinas Persediaan di pusat dan daerah. Semua barang keperluan yang dibeli baik untuk stok gudang maupun dipakai langsung tidak boleh melebihi anggaran OEB tersebut. Apabila lewat dari batas yang ditetapkan, harus mengajukan anggaran tambahan kepada Direksi untuk mendapat izin. Persoalannya, akibat Biro Inklaring dilucuti hak-hak istimewanya sejak 1952 menyebabkan urusan di pelabuhan menjadi berbelit, perlengkapan kereta api yang datang pun jadi tertahan lama di pelabuhan.

Situasi serba sulit itu terus berlangsung dan menimbulkan masalah di bagian Gudang Persediaan. Banyaknya barang yang dikeluarkan untuk kebutuhan dinas tidak dimbangi dengan pemasukan barang mengakibatkan stok dalam Gudang Persediaan terus berkurang.

Alternatif dilakukan untuk menyediakan onderdil kereta api dengan segera, yaitu dengan pembelian melalui pihak ketiga (importir). Harapannya, barang kereta api dapat lebih cepat keluar dari pelabuhan. Rupanya cara ini memberatkan karena menyebabkan harga mahal. Untuk mencari menutupinya, PNKA menjual lokomotif uap, kereta, gerbong, jembatan bekas yang tidak dipakai lagi. Penjualan barang bekas itu juga untuk membersihkan halaman gudang-gudang persediaan dalam rangka mempersiapkan tempat untuk barang-barang baru seperti suku cadang lokomotif diesel, peralatan sinyal NX, dan lain-lain.

Dalam perkembangan selanjutnya di masa Orde Baru dan Reformasi, Dinas Persediaan tetap dipertahankan. Karena banyak jalur ditutup, permintaan suku cadang sarana dan prasarana kereta api di bagian Gudang Persediaan berangsur-angsur merosot. Beberapa gudang persediaan besar menjadi tidak efisien operasionalnya karena tidak banyak orderan yang dilayani. Di Bandung, beberapa bagian Gudang Persediaan Cikudapateuh sejak 1987 mulai terbengkalai. Gudang Persediaan di Tegal eks-SCS dan Dua Gudang Persediaan Semarang bekas NIS dan SJS juga sudah lama tutup. Sementara Gudang Penyaluran Barang di Stasiun Gudang Jakarta tetap beroperasi dan digunakan untuk gudang perniagaan umum.*

1 BY dan Gudang Persediaan NIS rev

Balai Yasa dan Gudang Persediaan milik NIS pada 1900. (Sumber: KITLV)

2 Gudang Persediaan Cikudapateuh rev

Gudang Persediaan Pusat SS di Cikudapateuh Bandung, 1928. (Sumber: KITLV)

Sumber

Direktur Djenderal Kepala Djawatan Kereta Api. Berita DKA No. 4 Th. Ke-2. Bandung: Balai Besar DKA, April 1956

Perusahaan Jawatan Kereta Api. “Permulaan Perkeretaapian dan Keselamatan Kerja, Proyek Pengangkutan Batubara Bukit Asam.” Bandung: PJKA, Januari 1985

Perusahaan Negara Kereta Api. 1945-1970, Sekilas Lintas 25 Tahun Perkereta-apian. Jakarta: PNKA, 1970

Perusahaan Umum Kereta Api. “Laporan Evaluasi Keberhasilan Proyek Pengembangan Prasarana Kereta api Jabotabek Tahap I.” Bandung: PERUMKA, 1995

Tim Telagabakti Nusantara. SEJARAH PERKERETAAPIAN INDONESIA Jilid I. Bandung: CV Angkasa, 199