BISNIS GULA DI SEPANJANG PANTURA JAWA
Gula yang dihasilkan dari tanaman tebu pernah menjadi produk utama ekspor komoditas dari Jawa ke Eropa. Berkat gula pula Belanda berhasil selamat dari bahaya kebangkrutan negara. Pada 1830 negeri kincir angin itu kehilangan sumber pendapatan yang sebagian besar disumbang dari kawasan industrinya di Belgia pasca kemerdekaan wilayah tersebut. Situasi ekonomi bertambah parah karena keuangan pemerintah saat itu sudah terkuras habis untuk biaya perang memadamkan pemberontakan Pangeran Diponegoro. Kebijakan Tanam Paksa di negeri jajahan pun diambil demi menambah pundi-pundi negara. Secara sederhana sistem ini mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam tanaman ekspor seperti tebu, teh, tembakau, kopi, karet di seperlima lahan mereka untuk kemudian hasil panennya dijual langsung ke negara. Hanya dalam 10 tahun, Belanda sudah menerima selisih keuntungan 9,3 juta Gulden per tahun dari perdagangan ekspor tanaman industri ke Eropa. Pada dasawarsa kedua laba yang diraup tiap tahun terus menanjak menjadi 14,1 juta Gulden.
Ilustrasi panen tebu di Jawa pada Abad Ke-19. (Sumber: Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia 1867-2014)
Uang hasil keuntungan Tanam Paksa yang terus mengalir ke negeri Belanda turut memperkaya pengusaha-pengusaha pabrik, para pedagang dan saudagar Belanda. Dari orang-orang mapan itulah mulai tumbuh modal perdagangan dan industri swasta. Sebagian besar modal tersebut kembali ke Jawa dan bentuk pembukaan lahan perkebunan dan jasa angkutan kereta api. Pasca penghapusan Tanam Paksa dan kebebasan kepemilikan tanah oleh swasta melalui Undang-Undang Agraria Tahun 1870, investasi asing semakin deras masuk ke Jawa.
Keuntungan yang diperoleh perusahaan kereta api swasta Nederlandsch Indische Spoorweg-Maatschappij (NIS) sebagai pengelola jalur kereta api pertama Semarang–Solo–Yogyakarta mendorong swasta lain yang awalnya sempat ragu menjadi bersemangat mengajukan proposal konsesi kereta api kepada pemerintah. Pada saat itu di pesisir utara Jawa Tengah sendiri telah berdiri puluhan pabrik gula, pabrik pengolahan nila, gudang-gudang kopi dan teh.
Sampai 1865 saja paling tidak ada 700 hektar tanaman tebu yang tumbuh di Cirebon. Setelah Undang-Undang Agraria disahkan pemerintah kolonial pada 1870, banyak pengusaha dari Eropa terutama Belanda yang ikut menanamkan modal pada bisnis pengolahan tebu di Cirebon. Bisnis gula di tangan swasta kian menggeliat ketika 1878 Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghapuskan sistem Tanam Paksa untuk tebu sekaligus membebaskan batasan ekspor gula ke Eropa. Karena letaknya yang strategis, para pengusaha perkebunan menjadikan Cirebon sebagai basis gudang, kantor dagang, dan pabrik.
Sementara di industri gula mulai merambah Tegal dan sekitarnya sejak Sistem Tanam Paksa/ Cultuurstelsel (1830-1870) diberlakukan. Penanaman tebu di dataran rendah Brebes, Tegal, Pekalongan merupakan perluasan kegiatan bisnis gula Belanda yang telah ada sebelumnya di Cirebon sejak awal abad ke-19. Ketika perusahaan dagang Nederlandsch Handel Maatschappij didirikan pada 1824 sebagai pengganti VOC, produksi tebu yang awalnya hanya ada di pesisir Jakarta-Banten dipindah ke wilayah timur Cirebon. Hal itu selain karena kecocokan iklim dan tanah, sawah yang luas dan jumlah penduduk memadai sangat mendukung untuk dimulainya pembukaan lahan tebu beserta pabrik pengolahan di Tegal.
Di sebelah timur Tegal, karena kecocokan iklim dan tanah Pekalongan, sawah yang luas dan jumlah penduduk memadai sangat mendukung untuk dimulainya pembukaan lahan tebu beserta pabrik pengolahan. Ada tiga pabrik gula (PG) modern di Karesidenan Pekalongan yang dibangun antara 1837-1838. PG “Sragie” terletak di distrik Sragi (sekarang wilayah Pemalang), PG “Wonopringgo” di distrik Sawangan, dan PG “Kalimatie” yang terletak di dekat ibukota distrik Batang. Selain gula, Pekalongan juga menjadi sentra kopi yang di tanam di dataran sedang wilayah karesidenan selatan (Pekajangan, Bandar Gumiwang, Bandar Sidayu) dan di perbukitan sebelah timur Batang.
Melihat potensi besar eksploitasi kereta api yang belum digarap di sepanjang Karesidenan Cirebon, Brebes, Tegal, Pekalongan sampai Semarang, seorang anggota senior Raad van Indie (semacam parlemen untuk Hindia Belanda) J.A. Van Gelder melontarkan ide penyelenggaraan kereta api lintas Cirebon - Semarang dalam suatu makalah hasil penelitian yang kemudian diserahkan kepada Menteri Jajahan Levinus Wilhelmus Christiaan Keuchenius (menjabat 1888-1890). Van Gelder mengusulkan agar izin diberikan kepada pihak swasta. Menteri Keuchenius setuju tetapi berdasarkan pengalaman getir NIS dalam membangun Semarang – Solo – Yogyakarta, tidak mungkin swasta membangun jalan kereta api tanpa bantuan negara. Oleh karena itu ia menawarkan pinjaman kepada pihak swasta yang akan membangun sebesar 15 juta gulden dengan bunga maksimal 4 persen untuk pembangunan jalur Cirebon-Semarang sepanjang 244 kilometer.
Pada pemilu Belanda selanjutnya kabinet berganti yang berimbas pada perubahan kebijakan sebelumnya. Pada 1890 Menteri Jajahan yang baru Baron Mackay yang anti liberal menarik penawaran pembangunan lintas Cirebon – Pekalongan – Semarang oleh swasta dan memberikan hak kelola kepada negara. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal 12 Oktober 1893 ditetapkan dinas kereta api negara Staatsspoorwegen (SS) sebagai calon pemegang konsesi Cirebon - Semarang. Tetapi saat yang sama pula keuangan negara tidak cukup untuk membangun jalur tersebut karena anggaran sudah habis untuk biaya perang melawan Kesultanan Aceh (1875-1913).
Peta pembangunan jalur rel milik SCS di pesisir utara Jawa mulai dari Cirebon sampai Semarang pada 1893-1899. (Sumber: Nationaal Archief)
Pada akhirnya izin kembali diserahkan kepada swasta dengan terbitnya surat persetujuan konsesi trem uap lintas Cirebon-Tegal-Semarang pada 7 Desember 1893 dengan lama eksploitasi 99 tahun. Adapun perusahaan yang berhak mengelola adalah N.V. Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). Pembangunannya dilaksanakan pada dua lokasi terpisah yaitu Semarang dan Cirebon dengan total jarak 245,5 kilometer. Pada 2 Mei 1897 lintas Semarang Poncol - Kendal dibuka untuk umum dan menyusul (stasiun lama) Cheribon West - Losari pada tahun yang sama. Lintas Pemalang-Pekalongan merupakan seksi terakhir yang berhasil diselesaikan dan diresmikan secara keseluruhan pada 1899.***